Ringkasan Singkat
Video ini membahas peran dan kontribusi Tiga Serangkai—Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara—dalam kebangkitan nasional Indonesia. Mereka adalah tokoh intelektual yang berani menentang penjajahan Belanda dan menanamkan semangat nasionalisme melalui tulisan, organisasi, dan aksi nyata.
- Douwes Dekker, dengan latar belakang Indo, memperjuangkan kesetaraan dan kemerdekaan melalui Indische Partij.
- Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang dokter, mengkritik feodalisme dan kolonialisme, serta aktif dalam Budi Utomo meskipun kemudian mengundurkan diri.
- Ki Hadjar Dewantara, dari keluarga bangsawan, fokus pada pendidikan melalui Taman Siswa dan menjadi Menteri Pendidikan pertama Indonesia.
Pengantar Tiga Serangkai [0:10]
Video ini membahas tentang julukan tiga serangkai yang disematkan kepada Douwes Dekker, Cipto Mangun Kusumo, dan Ki Hajar Dewantara sebagai penanda penting bagi kebangkitan nasional di Indonesia. Mereka adalah tiga tokoh intelektual yang berani menentang penjajahan Belanda dan mengobarkan semangat nasionalisme di hati rakyat Indonesia. Tiga serangkai hadir dengan memberikan gagasan-gagasan progresif dan menanamkan semangat persatuan kepada rakyat melalui tulisan, organisasi hingga aksi nyata.
Douwes Dekker: Latar Belakang dan Perjuangan Awal [1:17]
Ernest Douwes Dekker, juga dikenal sebagai Danudirja Setiabudi, lahir di Pasuruan pada tahun 1879. Ayahnya adalah seorang Belanda dan ibunya seorang Indo. Setelah bekerja di perkebunan dan menyaksikan ketidakadilan, Dekker pergi ke Afrika Selatan dan bergabung dalam Perang Boer melawan Inggris. Pengalaman ini menumbuhkan nasionalisme dalam dirinya. Sekembalinya ke Hindia Belanda, Dekker menjadi jurnalis dan menulis artikel-artikel kritis terhadap kebijakan kolonial, membuatnya menjadi target pengawasan intelijen. Ia juga berperan dalam pendirian Budi Utomo dan Indische Universiteit Vereeniging (IUV).
Tjipto Mangoenkoesoemo: Kritik Sosial dan Politik [7:04]
Tjipto Mangoenkoesoemo lahir di Jepara pada tahun 1886. Ia dikenal jujur, cerdas, dan rajin, tetapi merasa terasing di sekolahnya, Stovia. Tjipto mengkritik feodalisme, kolonialisme, dan diskriminasi rasial melalui tulisan-tulisannya di surat kabar The Lokomotif. Ia juga melakukan aksi provokatif seperti memasuki klub sosial Eropa dengan pakaian tradisional Jawa. Meskipun antusias dengan Budi Utomo, Tjipto mengundurkan diri karena perbedaan visi mengenai fokus organisasi.
Ki Hadjar Dewantara: Pendidikan dan Organisasi [11:44]
Ki Hadjar Dewantara, lahir Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada tahun 1889, berasal dari keluarga bangsawan Pakualaman. Ia menempuh pendidikan di ELS dan Stovia, lalu bekerja sebagai penulis dan wartawan. Ki Hadjar aktif di Budi Utomo dan Insulinde, mengorganisasi kongres pertama Budi Utomo.
Pendirian Indische Partij dan Penolakan Pemerintah [13:37]
Douwes Dekker melihat Budi Utomo terbatas pada kebudayaan Jawa dan merasa kaum Indo terdiskriminasi. Ia percaya kaum Indo harus bekerja sama dengan pribumi. Dekker mendirikan Indische Partij pada tahun 1912 bersama Cipto dan Ki Hajar, sebuah partai nasionalis inklusif. Pemerintah Hindia Belanda menolak permohonan badan hukum Indische Partij, dan partai ini dibubarkan pada tahun 1913.
Aksi Protes dan Pengasingan ke Eropa [20:37]
Pada tahun 1913, pemerintah Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaannya, yang memicu protes dari kaum nasionalis. Cipto dan Ki Hajar mendirikan Komite Bumiputera untuk menentang perayaan tersebut. Ki Hajar menulis artikel "Als ik een Nederlander was" yang mengkritik rencana pemerintah. Akibatnya, Ki Hajar dan Cipto ditangkap dan diasingkan ke Belanda bersama Douwes Dekker.
Pengasingan di Belanda dan Pengaruh pada Organisasi Mahasiswa [24:21]
Selama pengasingan di Belanda, Tiga Serangkai terus melakukan aksi politik melalui propaganda Indische Partij dan menerbitkan majalah De Indier. Kehadiran mereka berdampak kuat pada organisasi mahasiswa Indonesia, Indische Vereeniging, yang kemudian mengadopsi konsep kemerdekaan Hindia. Ki Hadjar mendirikan Indonesisch Persbureau, kantor berita Indonesia.
Kembalinya Tiga Serangkai ke Indonesia [26:34]
Cipto kembali ke Jawa pada tahun 1914 dan bergabung dengan Insulinde, yang kemudian menjadi National Indische Partij (NIP). Ki Hadjar kembali pada tahun 1919 dan fokus pada pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922. Douwes Dekker kembali pada tahun 1920 dan aktif dalam jurnalistik serta organisasi, mengkritik kaum prokolonial.
Peran Setelah Kembali dan Akhir Hayat [28:24]
Ki Hajar Dewantara mengembangkan Taman Siswa dan menjadi Menteri Pendidikan pertama Indonesia. Douwes Dekker mendirikan sekolah Kesatrian Instituut, tetapi dilarang mengajar karena materi pelajarannya yang anti-kolonial. Cipto terus mengkritik pemerintah dan diasingkan ke berbagai daerah sebelum akhirnya meninggal di Sukabumi pada tahun 1943. Douwes Dekker meninggal pada tahun 1950 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.