Ringkasan Singkat
Video ini membahas Danantara, sebuah lembaga yang dibentuk untuk mencari sumber pembiayaan di luar APBN dengan tujuan memperbaiki struktur perekonomian dan menciptakan lapangan kerja. Diskusi ini menyoroti potensi masalah terkait tata kelola, transparansi, dan risiko keuangan yang mungkin timbul jika Danantara tidak dikelola dengan hati-hati. Beberapa poin utama yang dibahas meliputi:
- Potensi hilangnya ekuitas pemerintah jika investasi di BUMN dialihkan ke Danantara tanpa reklasifikasi yang tepat di LKPP.
- Kekhawatiran bahwa Danantara akan mewarisi tradisi buruk BUMN dalam berhutang untuk membayar dividen.
- Kecenderungan Danantara untuk membiayai proyek-proyek yang terkait dengan oligarki, bukan sektor pertanian yang lebih inklusif.
Pendahuluan [0:00]
Awalil Rizky dan Yanwar Rizky membahas tentang Danantara, sebuah ide untuk mencari sumber pembiayaan di luar APBN dengan fokus memperbaiki struktur perekonomian, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan. Yanwar Rizky memberikan catatan kritis terhadap ide ini dan menekankan pentingnya melihat dinamika perekonomian Indonesia dari kerangka konseptual yang tepat.
Kerangka Konseptual Ekonomi Kesejahteraan [4:48]
Yanwar menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara kesejahteraan dengan tiga pilar kebijakan utama: fiskal (LKPP), moneter (rezim devisa bebas), dan perlindungan negara (jaminan sosial dan full employment). Pilar ketiga ini mengatur pengelolaan dana jaminan sosial dan aset yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Konstitusi Indonesia mengatur jaminan sosial dan state capitalism melalui BUMN untuk menciptakan lapangan kerja.
Analisis Utang dan Produktivitas [13:35]
Yanwar menganalisis bahwa produktivitas yang diukur dari penerbitan utang terhadap penciptaan lapangan kerja cenderung negatif. Beban bunga utang yang besar tidak sebanding dengan pertumbuhan penerimaan perpajakan. Pemerintah menerbitkan investasi saham di BUMN sebagai solusi, namun ini menimbulkan pertanyaan tentang reklasifikasi di LKPP dan potensi dampaknya terhadap ekuitas pemerintah.
SWF dan BPJS [18:15]
Diskusi beralih ke Sovereign Wealth Fund (SWF) dan BPJS. BPJS dianggap sebagai SWF yang sudah ada di Indonesia, namun dana jaminan sosial ini banyak menyerap SBN yang kurang efektif dalam menciptakan lapangan kerja. Undang-Undang Ciptaker melahirkan INA (Indonesian Investment National Authority) sebagai SWF yang berinvestasi di sektor tertentu.
Implikasi Filosofis dan Tata Kelola Danantara [20:41]
Yanwar menekankan bahwa Danantara, yang disebut bukan penyelenggara negara, memiliki konsekuensi filosofis yang serius. Ia mempertanyakan apakah angka investasi pemerintah di Danantara akan direklasifikasi di LKPP atau menjadi transaksi yang mengurangi kas negara dan ekuitas pemerintah. Jika ekuitas pemerintah habis, ini akan berdampak pada rating dan stabilitas sistem keuangan. Yanwar mengusulkan agar Danantara memiliki laporan keuangan sendiri dan menjadi objek audit BPK.
Belajar dari Cina: Reformasi Struktural dan Kelembagaan [27:33]
Yanwar mencontohkan Cina yang melakukan reformasi struktural kelembagaan sebelum membentuk SWF. Cina membersihkan buku dan menyelesaikan masalah korupsi di BUMN sebelum membentuk Sasak (badan pengelola BUMN Cina) dan CIC (China Investment Corporation). Ia menyarankan agar Indonesia belajar dari Cina dan tidak terburu-buru membentuk Danantara tanpa membereskan masalah tata kelola dan keuangan BUMN.
Piutang Dividen dan Arus Kas BUMN [31:08]
Yanwar menyoroti bahwa pemerintah memiliki piutang dividen yang besar ke BUMN, yang menunjukkan bahwa laba BUMN tidak selalu sama dengan kas tunai. Arus kas operasional BUMN cenderung turun, dan banyak laba yang berasal dari akrual, bukan kas. Ini menimbulkan risiko bahwa Danantara akan mewarisi masalah keuangan BUMN dan kesulitan membayar dividen.
Frontloading dan Risiko Utang Valas [35:12]
Yanwar menjelaskan bahwa Danantara melakukan frontloading dengan meminjam uang untuk mendapatkan dividen di masa depan. Pinjaman ini memiliki risiko valas karena nilai tukar rupiah yang fluktuatif. Ia menghitung bahwa cicilan per tahun dari pinjaman ini bisa mencapai 61 triliun, sementara real cash yang dimiliki Danantara hanya sekitar 40 triliun.
Pola Investasi dan Risiko Hostel Takeover [39:28]
Diskusi berlanjut mengenai pola investasi Danantara yang cenderung membiayai proyek-proyek PSN yang terkait dengan oligarki. Yanwar mempertanyakan apakah proyek-proyek ini dapat memberikan return investasi yang sepadan dengan beban bunga utang Danantara. Ia juga mengingatkan tentang risiko hostel takeover jika Danantara dan BUMN di bawahnya tidak bisa membayar utang.
Tata Kelola dan Reformasi Struktural [43:50]
Yanwar menekankan pentingnya tata kelola yang baik dan transparansi di Danantara. Ia mengkritik kesan bahwa Danantara dapat melakukan corporate action tanpa diketahui oleh rakyat sebagai pemegang saham utama. Ia juga menyinggung potensi TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) dalam investasi Danantara. Yanwar menyarankan agar Danantara fokus pada reformasi agraria dan transformasi sektor pertanian, bukan hanya hilirisasi SDA.
Kritik terhadap Kebijakan Pertanian dan Koperasi [50:12]
Yanwar mengkritik kebijakan pertanian yang kurang fokus pada transformasi buruh tani dan lebih mengandalkan sektor informal. Ia mencontohkan kasus koperasi yang suppliernya menarik diri setelah diresmikan oleh presiden, yang menunjukkan masalah glorifikasi dan kurangnya teknokrasi dalam kebijakan pemerintah.
Kesimpulan [56:01]
Awalil dan Yanwar menyimpulkan bahwa mereka mendukung ide Danantara, tetapi dengan dukungan kritis terhadap kelembagaan, tata kelola, dan pola investasi. Mereka berharap Danantara dapat menjadi terobosan untuk reformasi struktural, tetapi memperingatkan tentang potensi masalah yang sudah ada dan risiko krisis baru jika tidak dikelola dengan hati-hati. Mereka menekankan pentingnya melihat neraca pemerintah dan dampak kebijakan terhadap seluruh rakyat Indonesia.