Ringkasan Singkat
Video ini membahas tentang Raja Jayabhaya dari Kerajaan Panjalu (Kediri) dan bagaimana sosoknya kemudian dikaitkan dengan ramalan Joyoboyo. Video ini menelusuri sejarah Raja Jayabhaya berdasarkan prasasti dan karya sastra sezaman, membedakannya dari tokoh Prabu Joyoboyo yang dikenal sebagai peramal dalam babad dan serat yang muncul berabad-abad kemudian.
- Raja Jayabhaya adalah tokoh sejarah yang memerintah Kerajaan Panjalu pada abad ke-12, dikenal sebagai raja yang bijaksana, mencintai seni sastra, dan berhasil menyatukan Panjalu dan Janggala.
- Prabu Joyoboyo adalah tokoh legenda yang dikenal sebagai peramal, muncul dalam babad dan serat yang ditulis berabad-abad setelah masa Raja Jayabhaya.
- Ramalan Joyoboyo bukanlah karya Raja Jayabhaya, melainkan karya para pujangga Jawa Baru yang merekam kondisi sosial dan moral masyarakat pada masa kolonial.
- Konsep Satrio Piningit berakar pada kepercayaan Jawa kuno tentang Dewa Wisnu yang turun ke bumi untuk mengembalikan keseimbangan, dan digunakan oleh para pujangga untuk memberikan harapan kepada masyarakat yang tertindas pada masa kolonial.
Prolog [0:00]
Video dimulai dengan pertanyaan tentang kebenaran ramalan Prabu Joyoboyo, seorang raja abad ke-12 yang konon meramalkan masa depan, termasuk teknologi modern dan kemerosotan moral. Video ini juga menyinggung tentang Satrio Piningit, tokoh yang diharapkan muncul untuk menyelamatkan Indonesia. Pertanyaan utama yang diajukan adalah apakah ramalan Joyoboyo itu benar, apakah Joyoboyo dan Jayabhaya adalah orang yang sama, dan di mana sebenarnya Satrio Piningit berada.
Benarkah Raja Jayabaya Penulis Ramalan Joyoboyo? [0:46]
Zaman Kaliyuga atau masa kehancuran memicu peperangan di Jawa, memunculkan harapan akan datangnya penyelamat, yaitu Wisnu. Raja Jayabhaya muncul sebagai sosok yang mengembalikan stabilitas Jawa, seperti yang tertulis dalam Kakawin Hariwangsa. Prasasti Hantang (1135) menegaskan kebangkitan Panjalu dan kemenangannya atas musuh. Kakawin Bharatayuda (1157) menggambarkan Raja Jayabhaya sebagai sosok yang disegani. Raja Jayabhaya adalah raja Panjalu yang terkenal, meninggalkan tiga prasasti. Namun, ketenarannya lebih disebabkan oleh ramalan Prabu Joyoboyo tentang perkembangan teknologi dan munculnya Satrio Piningit. Video ini akan mencari tahu kebenaran ramalan Joyoboyo, identitas Joyoboyo dan Jayabhaya, serta keberadaan Satrio Piningit.
Jayabaya, Raja Seniman & Editor Naskah [3:37]
Kakawin Hariwangsa menggambarkan Raja Jayabhaya sebagai sosok yang kritis terhadap sastra. Ia hidup di masa ketika seni sastra sedang berkembang pesat. Kakawin adalah karya sastra bermetrum yang ditulis di atas lontar dengan tujuan spiritual. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh adalah dua rakawi terkenal pada masa itu, menulis Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Bharatayuddha. Raja Jayabhaya adalah pembimbing para rakawi, bahkan Mpu Panuluh mengaku dididik langsung olehnya. Kakawin Bharatayuddha merupakan kolaborasi Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, namun Mpu Sedah dipecat karena diduga membuat gambaran istri tokoh Salya mirip dengan permaisuri raja. Selain itu, Kakawin Bharatayuddha (1157) mencatat bahwa Raja Jayabhaya pandai menciptakan tembang dan populer di kalangan rakyat. Hal ini diduga menjadi penyebab nama Jayabhaya masih dikenang hingga kini.
Penasehat Spiritual Beraliran Bhairawa [5:57]
Menurut Kakawin Hariwangsa, Dewa Wisnu turun ke dunia menjadi Raja Jayabhaya, didampingi Rsi Agastya sebagai guru semesta. Ini menunjukkan bahwa Raja Jayabhaya memiliki penasihat spiritual di istana. Prasasti Hantang (1135) dan Prasasti Talan (1136) menyebutkan bahwa penasihat tersebut menjalankan aliran Bhairawa, menjadi catatan tertua tentang Bhairawa di Jawa Kuno. Kemungkinan Raja Jayabhaya adalah Waisnawa, pemuja Dewa Wisnu, seperti leluhurnya, Raja Airlangga. Toleransi beragama sangat kuat di Kediri Kuno, di mana Raja Airlangga memuja Wisnu, namun gurunya menganut Buddha Mahayana, dan Raja Jayabhaya didampingi guru penganut Siwa Bhairawa.
Pemersatu Janggala-Panjalu yang Berakhir Tragis [7:33]
Setelah Maharaja Airlangga membagi kerajaannya menjadi Janggala dan Panjalu, terjadi peperangan selama lebih dari satu abad. Awalnya, Janggala lebih unggul, namun kemudian Panjalu berhasil memporak-porandakan istana Janggala. Pada tahun 1135 M, Prasasti Hantang mengabarkan bahwa tahta Panjalu dikuasai Raja Jayabhaya (1135-1159). Prasasti ini memiliki semboyan terkenal, "Panjalu Jayati", yang berarti "Panjalu menang!". Sejarawan menduga bahwa Jayabhaya berhasil mengalahkan Janggala dan menyatukan kedua kerajaan. Jayabhaya berhasil membawa stabilitas bagi Jawa, memungkinkan kesusastraan berkembang. Namun, akhir kekuasaan Jayabhaya masih misterius, diduga terjadi pemberontakan yang menyebabkan kematiannya.
Jayabaya Dalam Tulisan Tome Pires [10:36]
Saat Jawa memasuki zaman baru, ingatan akan peradaban Masa Klasik tergerus. Namun, nama Jayabhaya tidak hilang. Tome Pires dalam Suma Oriental (1512) mencatat bahwa rakyat Jawa di awal abad ke-16 masih mengingat nama Jayabhaya, namun hanya sebatas nama sebagai raja yang pernah berkuasa di Kediri. Penting untuk membedakan antara Sri Maharaja Jayabhaya, tokoh historis dalam prasasti, dengan Prabu Joyoboyo si jago ngeramal, yang sudah bercampur dengan banyak mitos.
Joyoboyo Keturunan Pandawa? [11:19]
Prabu Joyoboyo adalah sosok hasil kreasi para pujangga Jawa Baru dalam naskah-naskah babad mereka. Misalnya, Babad Tanah Jawi (1722 M) menggambarkan Joyoboyo sebagai keturunan Pandawa, dengan ayah bernama Gendroyono dan anak bernama Joyowijoyo. Namun, tidak ada prasasti yang menyebutkan hal ini. Babad lain, Babad Kadhiri (1832 M), menggambarkan Joyoboyo sebagai Bethoro Wisnu yang menjelma menjadi manusia, dengan anak bernama Ratu Pagedhongan dan negara bernama Daha.
Pujangga Babad Kadhiri Diprank Orang Kesurupan [12:28]
Mas Ngabehi Purbowijoyo, pejabat di Kediri pada tahun 1832, ditugasi menyusun kitab sejarah Kediri. Ia meminta bantuan Ki Dermokondo, seorang dalang wayang klithik. Mereka sepakat menggunakan cara supranatural, memanggil roh Buto Locoyo untuk merasuki seorang penabuh gamelan, dan racauannya ditulis sebagai Babad Kadhiri. Racauan itu menyebut Prabu Joyoboyo dicintai raksasa bernama Nyai, yang tewas dikeroyok warga desa. Prabu Joyoboyo pun meminta dibangun monumen untuk mengenang raksasa itu, yang konon menjadi kisah di balik pembuatan arca Totok Kerot. Babad Kadhiri juga menyebut Prabu Joyoboyo moksa dan meninggalkan empat candi, padahal Candi Tegowangi dan Surowono adalah peninggalan Majapahit. Kini kita bisa membedakan antara Maharaja Jayabhaya yang historis dengan Prabu Joyoboyo yang ahistoris.
Jongko Joyoboyo: Kitab Ramalan Terhebat, Nostradamus Lewat? [14:12]
Ramalan Joyoboyo tersusun dari berbagai kitab anonim yang diklaim ditulis oleh Prabu Joyoboyo. Isinya berupa kronologi berbagai zaman dalam sejarah dan masa depan. Menurut Babad Kadhiri, ramalan-ramalan itu bernama Serat Joyoboyo dan terdiri dari tiga kitab. Legenda menyebut kitab ramalan Joyoboyo tertua disusun oleh Empu Salukat dan dilanjutkan Sunan Giri II, namun legenda ini tidak berdasar. J.J. Ras menyebut Serat Jayabaya sebagai kitab ramalan Joyoboyo terawal, yang diduga karangan Pangeran Adilangu, namun sebenarnya kitab ini anonim dan tidak lebih tua dari abad ke-18 M. Pendapat lain menyebut Kitab Asrar sebagai ramalan Joyoboyo yang asli, yang konon disusun tahun 1613 M, namun ini juga tidak ada buktinya. Serat Jongko Joyoboyo berisi ramalan jaman edan dan modernitas, seperti "kreto mlaku tampo jaran" (mobil) dan "tanah Jowo kalungan wesi" (rel kereta api). Sebagian besar ramalan Joyoboyo berisi tentang dekadensi masyarakat modern, yang diduga merupakan rekaman zaman dari kemerosotan moral pada masa kolonial. Pujangga Jongko Joyoboyo juga menabur harapan akan datangnya Satrio Piningit sebagai Ratu Adil. Sayangnya, tidak ada kesepakatan tentang ciri-ciri Satrio Piningit.
Epilog [19:14]
Terlepas dari validitas ramalan Joyoboyo, kepercayaan akan Satrio Piningit berakar dalam di kesadaran masyarakat Jawa. Kakawin Hariwangsa menyebut bahwa setiap kali Jawa dilanda kekacauan, Dewa Wisnu turun ke bumi dalam berbagai wujud untuk mengembalikan keseimbangan. Ini menjadi dasar dari keyakinan akan adanya Satrio Piningit dan Ratu Adil, yang digunakan para pujangga Jongko Joyoboyo untuk memberi harapan bagi masyarakat Jawa yang hancur oleh perubahan zaman pada masa kolonial. Sejatinya, Satrio Piningit adalah kita semua, yang berani untuk bertindak, bekerja, bersyukur, berbuat baik, namun tidak diam saat melihat ketidakadilan.