Ringkasan Singkat
Video ini membahas tentang legalitas pemutaran musik di ruang publik dan hak royalti bagi pencipta lagu dan musisi di Indonesia. Fedi Erianto menjelaskan kompleksitas hak cipta musik, tantangan dalam pendistribusian royalti, dan solusi yang ditawarkan oleh platform Velo Diva untuk mempermudah pengelolaan lisensi dan pelaporan penggunaan musik bagi pelaku usaha.
- Kasus Mie Gacoan menjadi contoh pelanggaran hak cipta musik di ruang publik.
- Undang-undang hak cipta sudah ada, namun implementasinya belum optimal.
- Velo Diva hadir sebagai solusi untuk mempermudah pengelolaan lisensi dan pelaporan penggunaan musik bagi pelaku usaha.
- Tata kelola data musik yang transparan dan akuntabel sangat penting untuk memastikan royalti sampai ke pencipta lagu dan musisi.
- Pemerintah diharapkan berperan aktif dalam membangun ekosistem musik yang sehat dan berkelanjutan.
Intro [0:00]
Video ini membahas tentang pertanyaan yang sering diajukan oleh pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengenai legalitas memutar musik di tempat umum dan potensi konsekuensi hukumnya. Kasus Mie Gacoan menjadi sorotan, namun ada banyak kasus serupa yang tidak terungkap. Fedi Erianto, seorang ahli di bidang ini, akan menjelaskan apakah memutar musik di tempat umum melanggar hukum dan apakah ada risiko masuk penjara.
Kasus Mie Gacoan [1:55]
Kasus Mie Gacoan menjadi contoh pelanggaran hak cipta karena memutar musik tanpa izin. Sejak 2022, Mie Gacoan sudah mendapat peringatan terkait hal ini. Banyak pengusaha yang masih bingung mengenai aturan ini, misalnya apakah memutar musik di kantor atau gym juga termasuk pelanggaran. Undang-Undang Hak Cipta sudah ada sejak 2014, dan tata kelolanya diatur dalam PP Nomor 56 Tahun 2021. Pengguna komersial yang memonetisasi musik, seperti kafe atau skin clinic yang memutar musik relaksasi, wajib membayar royalti karena musik menjadi fasilitas tambahan bagi pelanggan.
Pencipta Lagu atau Penyanyi Legend Biasa Terima Duit Berapa dari Karya Mereka atau Royalty? [6:27]
Pencatatan royalti di Indonesia masih belum lengkap. Sistem pengumpulan royalti menggunakan metode "blanket" atau borongan, di mana pengguna komersial jarang melaporkan daftar lagu yang diputar. Padahal, Pasal 9 poin 1 PP56 mewajibkan pengguna komersial mengurus lisensi dan melaporkan penggunaan aset karya rekaman. Banyak pengguna yang menggunakan aplikasi streaming personal untuk memutar musik di tempat komersial, padahal aplikasi tersebut tidak diperuntukkan untuk penggunaan komersial.
Kenapa Pencipta Lagu Banyak yang Gak Kaya/Miskin? [8:30]
Seharusnya, industri musik yang besar, termasuk dari konser dan platform seperti TikTok, membuat para pencipta lagu kaya. Namun, kenyataannya banyak pencipta lagu legendaris yang hidupnya pas-pasan. Hal ini disebabkan oleh tata kelola yang belum digital dan transparan. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) bertugas mengumpulkan informasi dan tagihan dari pengguna komersial. Setelah pembayaran, LMK mendistribusikan royalti kepada penyanyi. Namun, proses ini seringkali tidak efisien karena pengguna komersial malas melaporkan daftar lagu yang diputar.
Fedi Erianto terdorong untuk membangun sistem yang lebih baik karena melihat tantangan besar dalam tata kelola royalti musik di Indonesia. Ia ingin membangun sistem distribusi yang transparan dan akuntabel, sehingga pencipta lagu bisa mendapatkan haknya dan mewariskan karya mereka kepada ahli waris. Aturan hak cipta berlaku hingga 70 tahun setelah pencipta lagu meninggal.
Alur pendistribusian royalti dimulai dari LMK yang mengumpulkan royalti dari pengguna komersial. Pengguna komersial harus melaporkan lagu apa saja yang diputar, namun banyak yang tidak melakukannya. LMK kemudian mendistribusikan royalti kepada penyanyi. Proses ini seringkali terhambat karena kurangnya teknologi dan transparansi.
Uang royalti seringkali "nyangkut" di tengah karena pengguna komersial enggan melaporkan penggunaan musik. Untuk mempermudah pelaporan, dibangunlah teknologi yang memudahkan pengguna komersial untuk melaporkan lagu yang diputar. Alat deteksi seperti Shazam tidak efektif karena adanya gangguan suara di tempat umum.
LMK juga kesulitan karena harus memantau jutaan bisnis di Indonesia. Fedi Erianto kemudian membangun music player khusus untuk komersial yang terintegrasi dengan LMKN. Dengan sistem ini, pengguna komersial tidak perlu repot melaporkan lagu yang diputar, dan LMK dapat mendistribusikan royalti secara lebih akurat.
Fedi Erianto memiliki latar belakang di bidang teknologi dan digitalisasi. Ia memulai karirnya dengan memindai dokumen pajak, kemudian mengembangkan bisnis penyedia layanan internet (ASP) dan TV streaming (Nomen TV). Ia melihat peluang untuk mentransformasi industri musik melalui digitalisasi.
Nomen TV menjadi pelopor TV cloud di Indonesia. Fedi Erianto berani memberikan bandwidth besar kepada hotel-hotel, meskipun saat itu dianggap rugi. Namun, ia yakin bahwa layanan TV streaming akan menjadi tren di masa depan.
Nomen TV berfungsi sebagai platform agregator konten, di mana pengguna dapat mengakses berbagai aplikasi seperti YouTube dan Netflix. Gaya menonton TV di hotel berbeda dengan di rumah, sehingga Nomen TV menyediakan konten yang sesuai dengan kebutuhan hotel.
Saat ini, Nomen TV memiliki 600 hotel sebagai pelanggan. Fedi Erianto senang karena produknya disukai oleh banyak orang. Ia terus berinovasi dan mengembangkan ide-ide baru untuk tetap menjadi pemimpin pasar.
Fedi Erianto senang bekerja dengan tim yang muda dan kreatif. Ia percaya bahwa mengkhayal atau berimajinasi adalah hal yang penting untuk mengembangkan ide-ide baru. Ia memvisualisasikan ide-idenya di kepala sebelum merealisasikannya.
Pemain ISP lain meragukan langkah Fedi Erianto untuk bermain di TV streaming karena mereka masih menganggap internet sebagai komoditas. Namun, Fedi Erianto melihat bahwa ia harus memiliki nilai tambah yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ia kemudian beralih dari ASP menjadi DSP (Anything Digital) dan membangun berbagai platform, termasuk platform musik.
Platform Musik Komersil Biar Gak Bayar Royalty [23:00]
Fedi Erianto memperkenalkan platform musiknya, Velo Diva, yang bertujuan menjadi "kendaraan" bagi para artis untuk menghasilkan royalti. Tampilan Velo Diva berbeda dengan platform musik lainnya karena dikurasi oleh tim profesional. Velo Diva menyediakan berbagai playlist yang sesuai dengan suasana tempat komersial, seperti hospitality, lobi, lounge, kolam renang, dan acara khusus.
Velo Diva juga menyediakan etalase khusus untuk maestro musik Indonesia, sehingga ahli waris mereka dapat terus menerima royalti. Setelah kasus Mie Gacoan, banyak yang berpikir untuk memutar lagu barat saja agar tidak perlu membayar royalti. Namun, Fedi Erianto menjelaskan bahwa memutar lagu barat juga tetap harus membayar lisensi dan memenuhi faktor mekanikal.
Velo Diva bekerja sama resmi dengan LMKN sejak Februari lalu. Platform ini memudahkan pengguna komersial untuk menggunakan musik secara legal. Velo Diva memiliki fitur scheduling dan remote control untuk semua player. Platform ini juga menyediakan laporan penggunaan musik yang terhubung langsung ke LMKN.
Pemilik kafe dengan banyak cabang dapat mengatur musik dari satu tempat dan memastikan semua cabang memutar musik yang sama. Velo Diva juga membantu menciptakan suasana yang sesuai dengan tempat komersial, misalnya spa dengan musik angklung.
Laporan penggunaan musik di Velo Diva tercatat secara digital, termasuk durasi pemutaran, waktu, dan lokasi. Data ini kemudian digunakan oleh LMKN untuk mendistribusikan royalti kepada pemilik hak.
Velo Diva membantu LMKN dalam melaporkan dan mendistribusikan royalti. Data yang lengkap dan akurat memudahkan LMKN untuk mendistribusikan royalti kepada artis, penulis lagu, dan label rekaman.
Fedi Erianto menekankan pentingnya database yang rapi untuk memastikan royalti sampai ke pihak yang berhak. Di Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta sudah mengatur bahwa Kementerian Hukum dan HAM harus membangun pusat data lagu dan musik, dan LMKN harus membangun sistem informasi lagu dan musik. Namun, hingga saat ini, kedua sistem tersebut belum terbangun.
Velo Diva berinisiatif membangun pusat data lagu dan musik sendiri, termasuk sistem manajemen royalti. Sistem ini mencatat detail lagu, termasuk ISRC, artis, penulis lagu, album, dan label rekaman. Sistem ini juga mencatat berapa kali lagu diputar, di mana saja, dan menggunakan sistem operasi apa.
Dengan sistem ini, para pencipta lagu dan penyanyi dapat melihat data penggunaan lagu mereka. Sistem ini juga memberikan informasi mengenai pembagian royalti antara performer dan penulis lagu. Fedi Erianto berharap sistem ini dapat digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan musisi Indonesia.
Industri musik di Indonesia sangat besar, terutama dengan banyaknya budaya dan suku. Negara harus menjaga kebudayaan Indonesia. Dengan adanya platform dan distribusi yang benar, Indonesia dapat memiliki banyak seniman dan musisi yang sejahtera.
Fedi Erianto ingin agar anak-anak muda Indonesia memiliki pilihan untuk menjadi musisi tanpa khawatir akan masa depan mereka. Ia ingin membangun mimpi bahwa musisi Indonesia bisa hidup sejahtera dari karya mereka.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa tantangan terbesar adalah mengedukasi pemerintah mengenai pentingnya tata kelola musik yang baik. Ia berharap pemerintah dapat mendukung platform seperti Velo Diva untuk membangun ekosistem musik yang sehat.
Fedi Erianto menekankan bahwa sistem yang kompleks seperti ini sudah ada di negara-negara Amerika Latin. Jika sistem ini digunakan oleh pemerintah, Indonesia bisa menjadi yang terbaik di Asia Pasifik.
Fedi Erianto menjelaskan bagaimana musisi dapat mendaftarkan karya mereka dan mendapatkan royalti dari penggunaan lagu mereka. Ia juga menekankan pentingnya melindungi kekayaan intelektual Indonesia agar tidak dipatenkan oleh pihak lain.
Fedi Erianto menekankan bahwa tata kelola pendataan musik wajib dilakukan oleh pemerintah. Ia berharap pemerintah dapat mengakuisisi platform seperti Velo Diva dan mengelolanya secara serius.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa industri musik bersifat eksklusif dan semua pihak harus membayar royalti. Ia juga menjelaskan bahwa musisi indie tetap harus mendaftarkan karya mereka ke HAKI dan LMK.
Kenapa Musik Gak Bisa Langsung Direct dari Pemusiknya? [44:25]
Fedi Erianto menjelaskan bahwa di Indonesia, sistem royalti menganut kolektif, sehingga pembayaran royalti tidak bisa dilakukan langsung ke pemusik. Hal ini untuk menghindari kerumitan jika setiap kafe atau spa harus menghubungi setiap pencipta lagu untuk membayar royalti.
Fedi Erianto mencontohkan, jika sebuah kafe memutar 10 lagu dari 10 pencipta lagu yang berbeda, maka pemilik kafe harus menghubungi 10 orang yang berbeda untuk membayar royalti. Hal ini akan sangat merepotkan.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa teknologi seperti Velo Diva dapat mempermudah pendistribusian royalti. Ia juga menekankan bahwa negara perlu hadir untuk memayungi industri musik dengan dasar hukum dan regulasi.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa LMKN adalah lembaga negara non-APBN yang hidup dari operasional pengumpulan royalti. Ia berharap Velo Diva dapat menjadi fasilitas negara yang membantu LMKN dalam mengumpulkan dan mendistribusikan royalti.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa dengan tata kelola yang baik, penerimaan negara dari pajak dan PNBP akan meningkat. Ia juga menekankan pentingnya memberikan insentif kepada musisi untuk terus berkarya.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa kebudayaan Indonesia sangat kaya dan negara harus menjaganya. Ia juga menekankan pentingnya traceability dalam industri musik, seperti halnya dalam industri kopi.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa platform seperti Velo Diva dapat menjadi marketplace bagi musisi Indonesia. Ia juga menekankan pentingnya melestarikan musik daerah dan etnik Indonesia.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa platform streaming besar seperti Spotify juga mendistribusikan royalti melalui lembaga. Ia menekankan bahwa di era digital ini, sistem harus digunakan untuk mempermudah pengelolaan royalti.
Pesan untuk para Musisi [53:00]
Fedi Erianto memberikan pesan kepada para musisi, pemerintah, dan pengusaha untuk tidak takut menggunakan musik. Ia menekankan bahwa mengurus lisensi musik itu mudah dan pemerintah sedang berbenah secara digital. Ia juga mengajak para pengusaha untuk mematuhi undang-undang dan membayar royalti.
Fedi Erianto mengajak para musisi untuk terus berkarya dan menciptakan lagu untuk Indonesia. Ia juga mengajak para pengguna komersial untuk menggunakan Velo Diva agar pelaporan royalti menjadi lebih mudah.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa apapun bebunyian yang dihadirkan di ruang publik dan dimonetisasi, itu adalah public performing dan harus membayar royalti. Ia juga menjelaskan bahwa jika seseorang menciptakan jingle sendiri, ia tetap harus mendaftarkannya ke LMK dan membayar royalti agar dapat mengklaim royalti dari penggunaan jingle tersebut.
Fedi Erianto mengajak para pengguna komersial untuk tidak lari dari masalah dengan tidak memutar musik Indonesia atau memutar lagu barat saja. Ia menekankan pentingnya mendapatkan izin dan menggunakan music player yang direkomendasikan oleh LMKN.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa jika sebuah bisnis tidak memutar musik, maka bisnis tersebut akan terasa hening dan tidak nyaman. Ia juga mengingatkan bahwa jika tamu menyetel musik di handphone dan disyuting, maka bisnis tersebut juga bisa terkena masalah hak cipta.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa seminar juga termasuk dalam kategori public performing dan harus membayar royalti. Ia juga menjelaskan bahwa Velo Diva menyediakan platform untuk mempermudah pengelolaan royalti untuk berbagai jenis acara.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa live event juga ada dua jenis, yaitu komersial dan non-komersial. Ia juga menjelaskan bahwa Velo Stage adalah platform yang dibangun untuk mempermudah promotor konser dalam mengurus perizinan.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa Velo Stage terintegrasi dengan OSS (Online Single Submission) dan online ticketing agency. Platform ini juga menyediakan fitur untuk menentukan harga tiket dan mengelola rundown acara.
Fedi Erianto menjelaskan bahwa platform ini juga menyediakan solusi bagi artis yang merasa valuasi lagunya lebih tinggi dari tarif standar. Ia juga menekankan pentingnya pusat data lagu dan musik untuk tata kelola royalti yang benar.
Fedi Erianto mengajak pemerintah untuk menggunakan platform seperti Velo Diva untuk membereskan tata kelola musik di Indonesia. Ia juga mengajak para penyanyi untuk mendukung platform ini agar dapat diwujudkan.
Fedi Erianto berharap agar tata kelola musik di Indonesia semakin baik dan sejalan dengan harapan para musisi. Ia juga menekankan pentingnya ekosistem yang melibatkan semua pihak dalam industri musik.
Fedi Erianto mengajak pemerintah untuk memanfaatkan teknologi yang sudah ada dan tidak membuat sistem sendiri yang ribet dan mahal. Ia juga menekankan bahwa platform ini tidak boleh didorong ke kepentingan khusus.
Fedi Erianto mengajak para pengguna komersial untuk tidak takut menggunakan musik dan mengurus lisensi dengan mudah. Ia juga mengajak semua pihak untuk mematuhi undang-undang dan berkontribusi dalam membangun ekosistem musik yang sehat.