Ringkasan Singkat
Video ini membahas mengapa hukum di Indonesia mudah dieksploitasi, dengan fokus pada sistem hukum yang tidak rigid dan cenderung acak. Diskusi melibatkan perbandingan antara sistem hukum civil law dan common law, serta pentingnya kepastian hukum dan bagaimana hal itu belum tercapai di Indonesia. Selain itu, dibahas pula mengenai perlunya interdisiplinaritas dalam pendidikan hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi perilaku masyarakat.
- Hukum di Indonesia mudah dieksploitasi karena sistem yang tidak rigid.
- Kepastian hukum masih menjadi isu utama yang belum tercapai.
- Pendidikan hukum perlu lebih interdisipliner dan kritis.
Pendahuluan dan Latar Belakang Masalah [0:00]
Video dimulai dengan pertanyaan mengapa hukum di Indonesia begitu mudah dieksploitasi, dan perhatian media seringkali hanya tertuju pada pelaku jahat (bad actors) seperti pejabat korup atau institusi yang bisa dibeli. Namun, masalahnya lebih dalam dari itu. Hukum di Indonesia tidak lebih rigid, tetapi lebih acak dibandingkan negara lain. Hal ini memunculkan pertanyaan mengapa kepastian hukum sering dibicarakan, karena orang cenderung membicarakan sesuatu yang sebenarnya belum tercapai.
Perkenalan dan Cerita Pertemuan Narasumber [1:13]
Mas Bagus Mulyadi diperkenalkan sebagai narasumber yang akan membahas topik hukum, politik, dan filosofi. Pertemuan antara Mas Pram dan Mas Bagus terjadi karena debat di Twitter mengenai sistem hukum positivistik di Indonesia. Mas Pram merasa menemukan teman berdialektika yang memiliki kegelisahan yang sama tentang isu hukum di Indonesia, yang seringkali mengalami oversimplifikasi dan kurangnya kepedulian terhadap ilmu hukum itu sendiri.
Kegelisahan Empiris Mas Bagus Mulyadi [6:28]
Mas Bagus, seorang akademisi dengan latar belakang matematika dan fisika, berbagi kegelisahannya yang lahir dari pengalaman hidupnya bekerja di Prancis dan Inggris. Ia melihat perbedaan pendekatan terhadap hal-hal seperti kebebasan berbicara dan hukum di kedua negara tersebut. Di Prancis, sistem hukum lebih deterministik dan berdasarkan statuta, sementara di Inggris lebih bebas selama tidak melanggar hak orang lain. Mas Bagus menggunakan analogi matematika untuk menjelaskan perbedaan ini, yaitu pendekatan deterministik (seperti sistem Gaussian) dan stokastik (seperti random walk).
Perbandingan Sistem Hukum dan Pengaruhnya pada Perilaku [10:30]
Mas Bagus menjelaskan bahwa Indonesia mengadopsi sistem civil law dari Prancis, yang kemudian mempengaruhi perilaku masyarakat. Di Prancis, untuk memiliki rumah, seseorang harus memiliki kontrak kerja, dan untuk memiliki kontrak kerja, harus memiliki rekening bank, menciptakan sistem birokrasi yang rumit. Hal ini juga ditemukan di Indonesia. Hipotesisnya adalah bahwa jika segala sesuatu hanya diakui di depan hukum jika memiliki statuta atau objek terverifikasi, hal itu akan mempengaruhi perilaku orang.
Mengapa Hukum di Indonesia Mudah Dieksploitasi? [12:47]
Pertanyaan utama yang diajukan adalah mengapa hukum di Indonesia begitu mudah dieksploitasi. Mas Bagus berpendapat bahwa masalahnya lebih dalam daripada sekadar pelaku korup. Ia mempertanyakan apakah Indonesia mengadopsi sistem hukum secara buta. Jika ingin memiliki sistem hukum deterministik seperti civil law, sistem tersebut harus tertutup (closed) dan otonom, yang menurutnya belum tercapai di Indonesia. Hal ini didukung oleh penelitian dari Polenhoven dan Adrian Betner yang menunjukkan bahwa otonomi sistem hukum di Indonesia sangat lemah.
Fanatisme Terhadap Model Hukum dan Kritik di Twitter [14:34]
Mas Bagus mengkritik adanya fanatisme terhadap satu model hukum di kalangan akademisi hukum di Indonesia, yang jarang ditemukan dalam disiplin ilmu lain seperti fisika atau matematika. Ia melihat Twitter sebagai alat empiris yang menunjukkan bahwa ada kekhawatiran dan kegelisahan nyata tentang sistem hukum di Indonesia.
Pandangan Mas Pram tentang Sistem Hukum [17:24]
Mas Pram menanggapi pernyataan Mas Bagus dengan membandingkan sistem civil law dan common law, merujuk pada teori Richard Posner yang menyatakan bahwa common law lebih efisien karena diputuskan secara induktif dan memperhatikan kondisi pasar. Namun, ia juga menyebutkan bahwa penelitian lain menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak selalu rigid, tetapi justru lebih acak dibandingkan negara lain.
Kepastian Hukum dan Budaya Preseden di Indonesia [19:17]
Mas Pram menjelaskan bahwa di Amerika Serikat, hakim harus mengikuti preseden dan memberikan alasan yang kuat jika ingin menghindarinya. Namun, di Indonesia, hakim lebih bebas dan tidak ada kesatuan preseden. Hakim dapat berbeda pendapat tanpa harus menjelaskannya. Budaya preseden yang lemah atau tidak ada ini menjadi masalah utama dalam sistem hukum Indonesia.
Sejarah Hukum di Indonesia dan Pandangan Muhammad Hatta [23:16]
Mas Pram mengutip buku Muhammad Hatta, "Menuju Negara Hukum," yang mengkritik dekret presiden yang dianggap inkonstitusional. Ia menjelaskan sejarah Indonesia yang pernah memiliki Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan kemudian kembali ke UUD 1945. Pertentangan antara aliran Pancasila dan aliran Islam menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya kompromi dalam konstituante.
Teori-Teori Hukum: Natural Law, Legal Positivism, dan Legal History [26:43]
Mas Pram menjelaskan tiga teori besar dalam pemikiran hukum: natural law (hukum bersumber dari nilai-nilai adi luhung di alam semesta), legal positivism (hukum ditentukan oleh otoritas yang berwenang atau fakta sosial), dan legal history (hukum selalu membumi dan bergantung pada sejarah serta keberadaan masyarakat). Ia juga menyebutkan tokoh-tokoh penting seperti John Finnis, Hans Kelsen, H.L.A. Hart, dan Brian Tamanaha.
Preseden, Legal Formalism, dan Interdisiplinaritas [34:10]
Mas Bagus kembali menjelaskan pentingnya preseden sebagai sistem korektif dalam hukum. Ia mengkritik legal formalism di Indonesia, di mana hakim lebih fokus pada undang-undang daripada mempertimbangkan budaya preseden. Ia juga menyoroti rendahnya budaya interdisiplinaritas dalam sistem pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yang menyebabkan kurangnya pemahaman tentang konteks sosial dan perubahan sosial yang cepat.
Konstitusi, Civil Law, dan Budaya Skeptisisme [40:10]
Mas Bagus menekankan bahwa dalam sistem civil law, konstitusi sangat penting, tetapi harus digunakan dengan benar oleh Mahkamah Konstitusi. Ia berpendapat bahwa jika ingin transplantasi hukum civil law ke Indonesia, harus ada budaya preseden dan otonomi hukum. Ia juga mengkritik budaya korup yang masih ada di kalangan praktisi hukum.
Epistemic Dependency dan Pentingnya Hukum Sebagai Applied Philosophy [44:03]
Mas Bagus mengkritik epistemic dependency, yaitu ketergantungan pada teori-teori hukum dari luar tanpa mengembangkan mazhab hukum sendiri dari Indonesia. Ia menekankan bahwa hukum adalah applied philosophy dan perlu adanya interdisiplinaritas dalam pendidikan hukum. Ia mencontohkan bagaimana pejabat publik seringkali hanya berpegang pada apa yang legal, tanpa mempertimbangkan aspek etika dan moralitas.
Legitimasi dan Pentingnya Memahami Sistem Hukum [47:50]
Mas Bagus menekankan bahwa tanpa legitimasi, legalitas tidak berarti apa-apa. Ia mengajak masyarakat untuk memahami sistem hukum yang ada dan tidak hanya menerima begitu saja. Mas Pram menambahkan bahwa diskusi ini penting agar orang awam tidak merasa bahwa hukum adalah sesuatu yang tidak bisa dijangkau.
Pendidikan Hukum dan Pentingnya Pemahaman Filsafat [51:57]
Mas Pram setuju bahwa pendidikan hukum perlu lebih dari sekadar menghafal, tetapi juga memahami filsafat, sosiologi, dan ekonomi. Ia mencontohkan pengalamannya sendiri di kelas filsafat hukum di UI, di mana jawaban yang kritis dan mendalam dihargai. Ia juga menyebutkan asas konkordansi pada zaman Hindia Belanda, di mana hukum Belanda diberlakukan di Indonesia.
Sejarah Hukum Antar Golongan dan Perdebatan tentang Hukum Adat [55:36]
Mas Pram menjelaskan sejarah hukum antar golongan di Indonesia, di mana ada perbedaan hukum yang berlaku untuk golongan barat, timur asing, dan pribumi. Ia juga menyebutkan perdebatan tentang apakah hukum adat atau hukum Belanda yang lebih tepat untuk diberlakukan di Indonesia. Ia menyoroti bagaimana masyarakat adat semakin tergerus dan dianggap kolot, sehingga mereka lebih memilih melapor langsung ke polisi daripada menyelesaikan masalah secara adat.
Kecelakaan Sejarah dan Perlunya Kesadaran akan Sistem Hukum [1:02:17]
Mas Pram berpendapat bahwa sistem hukum Indonesia adalah sumber dari kecelakaan sejarah. Ia mengajak masyarakat untuk menyadari hal ini dan tidak terlalu nyaman dengan zona nyaman. Ia juga memberikan semangat kepada lulusan hukum masa depan untuk terus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Hukum Ciptaan Tuhan atau Manusia? dan Abolishment of Slavery [1:03:43]
Mas Bagus mengajukan pertanyaan apakah hukum itu ciptaan Tuhan atau manusia, dan memberikan contoh kasus abolishment of slavery di Inggris dan Prancis. Di Inggris, abolishment of slavery didasarkan pada natural law, sementara di Prancis melalui revolusi berdarah. Ia menekankan bahwa Prancis memiliki natural antivirus berupa budaya skeptisisme dan hermeneutic skill yang tinggi untuk mengawal Napoleonic code.
Kultur Feodalisme dan Perlunya Skeptisisme Terhadap Power [1:08:15]
Mas Bagus menutup diskusi dengan menyatakan bahwa kultur feodalisme di Indonesia tidak mempertanyakan batasan hukum. Ia menekankan perlunya skeptisisme terhadap power agar hukum tidak menjadi jalan keluar bagi power untuk mengabsahkan cengkeramannya. Diskusi ini akan dilanjutkan pada episode berikutnya.